Sunday, October 22, 2006

Semoga mereka BAHAGIA

Suatu hari saya menonton berita jam 12 di SBS. Saya melihat bencanalumpur semakin parah. Di persekitaran daerah berlumpur berdiribeberapa anak-anak yang berwajah gembira dan bahagia. Lalu sayabilang ke suami 'Tuh yah, lihaaat, anak-anak itu tampak gembirasaja!'Tiba-tiba saya teringat masa kecil saya.Saya hidup di kampung yang sering tertimpa bencana banjir, bahkanhingga sekarang kampung saya masih sering kebanjiran. Saya masihingat betapa repotnya orang tua dan saudara saya mengamankan barang-barang. Maka jadilah pemandangan, 'kursi duduk di atas kursi', kasurdi atas meja, dll.Pada musim banjir (kadang-kadang rumah kami kami kebanjiran selamalebih dari 3 hari), biasanya, pada malam hari Bapak saya tidaktidur. Beliau duduk di ruang tamu, sambil merokok dan duduk dengantenang. Sesekali beliau keluar membawa senter, lalu masuk lagi kerumah memberi laporan ketinggian kenaikan air. 'airnya naik satujengkal' atau 'Alhamdulillah, sepertinya banjir mulai turun.'Saat itu, perasaan saya tenang-tenang saja. Saya tidak melihatkepanikan pada orang tua kami. Ibu saya hanya sibuk mengamankanbarang-barang. Saya pun teringat ketika air sudah mulai masuk kedalam rumah melalu pintu, Bapak dan Ibu saya tampak tenang saja.Pemandangan banjir adalah pemandangan yang sudah biasa sejak sayamasih kecil. Kadang-kadang ketika saya bangun tidur, sayamerasa 'excited' ternyata banyak air di bawah ranjang saya. Seakaningin berteriak Horeeeeeeeee, bisa main perahu-perahuan.Bahkan hingga saya berusia sekolah menengah atas, seingat saya, sayajustru sangat bahagia ketika terjadi banjir di kampung saya.Mengapa? Kami bisa bermain banjir-banjiran dan ternyata bukan cumakami yang menikmati banjir tersebut. Banyak orang yang dari kotadatang ke kampung kami untuk bermain-main air. Menikmati pemandanganderasnya aliran air di sungai kampung kami. Bermain perahu-perahudll.Hal lain yg sangat saya senangi adalah karena biasanya pada saat-saat banjir, kami bisa menikmati ubi goreng + sambel. Atau ibu sayabikin kroket (bahasa bugisnya koroket). Dari mana ubi kayunya (tahukan Ubi kayu? Orang di Surabaya bilang Ketela pohon ya?).Anyway, biasanya kakak saya pergi beli ubi di kota Pangkep berjaraksekitar 3 kilometer dari kampung saya. Dan tentunya dia menghabiskanwaktu cukup lama untuk berjalan ditengah kebanjiran. Sungguh nikmatmakan ubi goreng hangat di saat-saat banjir!!!Bahkan ketika saya berusia sekolah dasar, rumah orang tua saya ASLIberalaskan tanah. Situasi Pasca banjir pun cukup merepotkan danmenimbulkan pemandangan yang tidak indah. Lantai jadi becek bangetdan kadang-kadang butuh waktu berminggu-minggu untuk kembali menjadipadat/kering. Pemandangan di rumah saya sangat unik. Di mana-manaada balok, deretan kursi antara dua tempat tidur sehingga kami bisasedikit menghindar dari belepotan tanah. Pembaca bisa membayangkanberatnya sendal jepit kami karena tanah-tanah liat yang terlalusetia pada kami.Nah, bagaimana perasaan saya saat itu?Biasa saja!Saya tidak merasa menderita! Kebahagian, senyum, tawa tetap sajamewarnai kehidupan keluarga besar kami.Oleh karena itu, harapan yang selalu muncul di hati saya ketikamelihat saudara saya tertimpa bencana adalah semoga mereka tetapmerasakan kebahagiaan. BAHAGIA adalah sesuatu yang tak ternilaiharganya.Saat menulis kenangan ini, saya berusaha mengingat apakah orang tuakami mengeluh menghadapi situasi banjir tersebut?. Ternyata seingatsaya, saya TIDAK PERNAH mendengar orang tua saya mengeluh.Masya Allah, saya jadi sedih dan menyesal-sudah berapa sering sayamengeluh di hadapan anak saya. 'Nak, ibu capek memasak, masa kamutidak mau makan?'; 'Nak, ibu ini sibuk, ibu ini student, ibu inibutuh waktu untuk belajar, Ibu capek, tolong kamu bantu Ibu dong'Astagfirullah. Mengapa saya tidak memilih kata yang lebih pantasdidengar oleh anak-anak saya? Mengapa saya tidak membangun kalimat-kalimat yang lebih mendidik? Yang lebih memberi kesan ketegaran,kebijakan, tanggung jawab?Saya seharusnya belajar dari orang tua saya. Ibu saya bukan anaksekolahan. Ijazah SD saja beliau tidak punya. Bapak saya hanya guruSD yang tingkat pendidikannya saja tidak mencapai sarjana.Sedangkan saya? Sudak lebih 20 tahun saya belajar di sekolah formal,SD-S3! Mengapa bisa demikian?Dalam renungan ini, saya menjadi sadar bahwa saya menuntut ilmu jauh-jauh hingga di negeri seberang, tapi sesungguhnya orang tua sayaadalah orang yang patut menjadi guru termahal saya.Ketabahan, ketenangan, kedamaian yang selalu terpancar darikehidupan merekalah yang mampu membawa saya dan saudara-saudaramenjalani kehidupan yang sesungguhnya sulit tapi terasa biasa-biasasaja.Semoga refleksi ini bisa membawa perubahan positif dalam perilakusehari-hari saya. Amiin

Tulisan di atas saya tulis untuk Renungan Hari Jum'at di milis iisb (milis student/masyarakat Islam Indonesia) pada tgl 20 Oktober 2006

No comments: