Thursday, December 01, 2011

Nikmatnya berjalan kaki


Saya bersyukur mendapat tempat tinggal di West Campus karena menyebabkan saya harus berjalan ± 15-20 menit. Jalanannya indah & bersih seperti di foto-foto di FB saya tapi lumayan menguras tenaga. Maklum, jalanan dari tempat tinggal menuju bus stop lumayan menanjak. Tapi kok bisa nikmat? Bukankah naik kendaraan lebih nyaman?

Dulu, saya juga berpikir demikian. Sungguh enak ya orang yang punya kendaraan dan punya uang. Berikut saya akan bercerita tentang jalan kaki yang selalu mewarnai kehidupan saya.

Jalan Kaki Masa SMP dan SMA:

Bisakah Anda membayangkan, saya berjalan kaki ± 7 km pulang pergi rumah-sekolah. Berjalan di pagi hari masih lumayan, tapi berjalan di “siang bolong” dalam keadaan lapar bukanlah hal mudah. Sesekali, saya berhenti untuk bernaung. Saat itu saya tak mengenal botol air minum, apalagi “lunch box”. Jika ada pelajaran tambahan sore hari, maka saya harus berjalan lebih cepat, karena saya perlu waktu untuk makan siang di rumah dan ganti baju. Maklum tidak punya uang jajan.

Saat berjalan dalam keadaan capek, kadang-kadang saya berfikir enaknya punya uang karena bisa naik dokar [nama transportasi di desa kami yang menggunakan tenaga kuda].

Situasi menjadi lebih parah saat musim hujan karena saya sering pakai sepatu bocor (maklum sepatuh termurah dan tiap hari berjalan jauh). Saya sering membungkus kaki saya dengan kantong plastik sebelum memasang sepatu. Walau demikian, setiba di sekolah, kaos kaki tetap basah, karena plastiknya harus dilepas sedangkan sepatu masih basah kuyup. Jadi sehari di kelas, ya sepatu basah.

Demikian seterusnya hingga saya berhasil lulus dan masuk SMA. Artinya, jaraknya lebih dekat ± 5 km pp. Tapi karena lebih sering mendapat pelajaran tambahan sore, berarti sehari bisa berjalan kaki menempuh jarak ± 10 km.

Jalan Kaki Masa Kuliah di IKIP

Karena cita-cita sejak kecil ingin jadi guru, saya masuk IKIP. Di samping itu IKIP lah yang paling murah saat itu. Saya bersama dua kakak laki-laki kontrak kamar di Jl. Mannuruki ukuran sekitar 2.5 m x 3.5 m persegi dengan fasilitas sangat terbatas. Jika mau masak, terpaksa kompor minyak tanah saya di angkat ke depan pintu. Maklum tak ada dapur. Untungnya, kami hidup harmonis dg saudara dan tetangga, bisa tertawa. Pokoknya happy saja. Kakak laki-laki yang tertua sering kerja di bengkel, sedang yang kedua sering ikut ke tetangga yang tukang batu. Demikian, hingga akhirnya kami bertiga jadi sarjana.

Kembali ke cerita jalan kaki.Kontrak kamar di Mannuruki adalah strategis karena tempat kuliah saya ada 2, yaitu di Kampus Parangtambung dan Gunung Sari. Mannuruki berada di tengah-tengah. Mungkin jarak dari rumah ke kedua kampus itu ± 3 km. Namun situasinya tidak selalu mudah seperti yang saya bayangkan. Kadang-kadang dalam sehari, ada dua mata kuliah yang berdekatan jadwalnya tapi dilaksanakan di dua kampus itu. Artinya saya harus segera berpindah kampus. Transport antar kampus tersedia. Namanya Pete-Pete, mobil yang sudah sangat tua. Mobil seperti itu sudah harus dihancurkan untuk konteks Australia dan Afsel. Saya tentu tidak mungkin naik Pete-pete karena biaya makan sebulan saja tidak cukupJ. Akibatnya, saya setengah berlari, berpisah dari kawan-kawan yang menuju Pete-pete, dan saya jalan menuju Mannuruki (± 3 km) lalu lanjut ke Parangtambung melewati sawah-sawah (± 3 km). Tapi bisakah Anda membayangkan tantangan yang kuhadapi, ketika banjir tersebut. Untung ular-ular yang di sawah tidak tega menggigitku.

Tapi saya bersyukur. Rasanya saya tidak pernah mengeluh atau merasa tidak percaya diri, atau merasa sedih. Yang kuingat adalah, sepanjang jalan, saya hanya membaca surah-surah pendek, khususnya Alfatihah, AlIkhlas atau AnNas, atau bertasbih, bertahmid, dst. Alhamdulillah, pada umumnya saya bisa tiba di kelas tepat waktu dengan wajah ceria bertemu kawan-kawan lainnya. Sekedar info, kawan-kawan kelas saya di S1 IKIP Ujung Pandang sangat baik. Saya tak pernah bertengkar atau bermasalah selama bersama mereka 4 tahun. I love them all. Lelahnya jalan kaki segera terlupakan saat bertemu mereka, khususnya teman-teman cewek. Maklum sy lebih dekat dengan sesama teman wanita.

Jalan Kaki Saat S2 di IKIP Surabaya

Ternyata kehidupan berubah saat S2 karena mendapat beasiswa yang lumayan tinggi bahkan mengalahkan beasiswa dosen. Saya tinggal di rumah yang jauh lebih nyaman, dan setiap hari makanan disiapkan oleh pembantu Eyang. Jarak tempuh ke kampus relatif dekat sehingga Jalan kaki semakin berkurang. Bila ke toko, walau dekat (jalan kaki ±, 5 menit), saya naik becak karena malas jalan.

Jalan Kaki Masa S3 di Brisbane Australia:

Kebiasaan naik becak di Surabaya (walau jarak sangat dekat) ternyata mempengaruhi ketegaran saya. Di Australia, saya tinggal di Flat yang jaraknya ± 2 km. Tentu jarak ini jauh bagi saya saat itu. Di sana tersedia bus tapi saya harus berjalan ke bus stop yang jaraknya lebih dari 100 m. Lumayan dekat, tapi itu adalah hal berat karena kebiasaan naik becak (maklum saat di Unesa, becak bisa mengantar kita sampai ke dalam kampus). Di Brisbane, tak ada becak dan bus tidak bisa berhenti kecuali di bus stop yang ditentukan.

Ternyata Maesuri yang dulu tegar, yang tidak tahu mengeluh, saat itu sudah berani mengeluh gara-gara berjalan kaki. Astagfirullah.

Hingga akhirnya, suatu ketika saya membaca tips hidup sehat, yaitu perbanyak jalan kaki. Parkirlah mobil sejauh mungkin dari pintu mall sehingga Anda bisa jalan kaki. Saya pun mengamati perilaku orang-orang di sekeliling saya. Di pagi atau sore bahkan malam hari, banyak orang yang berjalan kaki atau berlari-lari kecil. Banyak juga mahasiswa (atau mungkin staff) yang parkir mobilnya cukup jauh, termasuk parkir di depan tempat tinggal kami, kemudian mereka berjalan kaki menuju kampus. Keuntungannya, mereka bisa berjalan kaki dan tidak bayar uang parkir. Nah saya sendiri, selalu naik bis.Saya mulai membuka mata dan pikiran saya. Saya sudah mulai tertarik jalan kaki. Meski ada mini bis gratis yang tersedia mengantar kami hingga depan rumah (setelah jam 6pm), kadang-kadang saya memilih berjalan kaki pulang ke rumah. Rasanya pikiran yang tadinya berat, jadi lebih ringan. Bahkan kadang-kadang ketika suami dan anak-anak menjemput saya, saya hanya berikan tas saya dan saya minta ijin berjalan kaki.. Berjalan kaki sudah mulai menjadi sesuatu yang nikmat, suatu kebutuhan, yang membuahkan rasa syukur. Ini diperkuat dengan sistem di sekolah Fika di Australia, anak-anak yang berjalan kaki, sering mendapatkan penghargaan dari guru. Jadi wajar, kalau anak-anak mereka memaksa orang tua markir ditempat jauh dan mereka pun berjalan kaki.

Jalan Kaki Sepulang dari Australia:

Jangan heran, kalau sesekali saya dilihat oleh mahasiswa atau teman dosen berjalan kaki dari kampus pulang ke rumah. Kadang di tanyai, “loh motornya di mana”. Kadang suami sendiri bertanya saat beliau pulang dan melihat motor parkir di sana “Kok Mama Fika tidak pakai motorJ”. Saya selalu ingin jalan kaki, hanya sayang sekali, kondisi jalan kurang nyaman untuk jalan kaki (tak tersedia jalur khusus untuk pejalan kaki, dan kadang banyak air yang tergenang) di jalan. Nah sekarang, di Kampus Wits, situasi sangat nyaman berjalan kaki.

Itulah kisah nikmatnya jalan kaki.

Sekarang saya sangat bersyukur mengingat saat kecil saya banyak berjalan kaki. Jadi teman-temanku, mahasiswaku, dan kerabatku. Jangan ragu untuk berjalan kaki. Sesekali, atau bahkan lebih seringlah memarkir motornya di rumah. Ini bisa membantu mengatasi efek polusi, macetnya kendaraan, padatnya parkiran, maka seringlah berjalan kaki. Jangan pernah gengsi, karena sungguh badan kita membutuhkannya. Semoga cerita ini bisa bermanfaat.