Friday, June 07, 2013

Biarkan data bicara


Dua hal utama yang kulakukan seharian: pertama mencoba mempersiapkan paper untuk sebuah konferensi, dan kedua berdiskusi dengan kawan dalam rangka mempersiapkan perkuliahanku yang pertama di CSU.
Namun dalam catatan ini saya ingin berbagi sebagian hasil renungan singkat saya tadi pagi.

Setelah membaca satu artikel yang sangat manarik, saya berhenti sejenak menulis dan merenung . Kunasehati diriku. Anda adalah peneliti. Anda ingin mengetahui sesuatu. Anda harus bertanya pada diri: pemahaman baru apa yang Anda dapatkan dari analisis sebuah data.
Kunasehati diriku: biarkan data bicara pada Anda, walaupun saya sadari bahwa ini tidak mungkin terjadi. Kita semua membaca atau memaknai sesuatu berdasarkan perspektif dan pemahaman yang telah kita miliki.

Kukatakan lagi pada diriku: biarkan data bicara.
Ingat, Anda telah mencoba membantu anak belajar menggunakan sumber-sumber belajar online.
Amati sejauh mana alat itu berfungsi. Apa karakteristik alat itu dan berefleksilah mengapa Anda memilih alat tersebut. Anda tentu mempunyai pertimbangan logis dalam memilihnya, walau pun mungkin saja, pertimbangan logis Anda saat itu berbeda dengan apa yang Anda pahami saat ini.

Penelitian atau hasil analisis mungkin saja berkesimpulan bahwa hal ini terjadi karena pertimbangan Anda yang seperti ini. Bukankah penelitian menuntut kejujuran. Bukankah penelitian adalah suatu dinamika yang harus diambil maknanya?

Hidup ini dinamis. Kejadian atau proses belajar di kelas adalah sesuatu yang dinamis dan sangat kompleks. Dia adalah sesuatu yang tak dapat Anda kontrol sepenuhnya.

Sudahlah, cermati betul data Anda. Untuk saat ini tidak usah dulu pakai alat macam-macam. Tidak usah pakai ilmu pskolingusistic atau ilmu sociolinguistik atau framework khusus.

Belakangan, mungkin bisa saja Anda menentukan pada satu pilihan kerangka teori khusus. Beginilah kerja Anda dalam penelitian kualitatif.

Namun kunasehati pula diriku, bahwa Anda memang perlu memperluas wawasan, karena Anda tak mungkin bisa bicara bahwa ada hal baru dari penelitian Anda tanpa tahu apa yang sudah ada? apa yang sudah diperdebatkan orang? apa yang yang telah ditemukan orang? argumen apa yang telah diajukan pada publik.

Kembali saya menyadarkan diri: inilah kerja sebuah penelitian dan karena itu penelitian tak seharusnya membawa kita bersikap sombong . Penelitian akan membawa kita berhenti sejenak atau mundur selangkah atau lebih untuk berpikir dan bertanya: apa, mengapa, lalu bagaimana?

Sunday, March 04, 2012

Siapakah Diriku? Saya hanyalah orang biasa.

Di pagi ini, kutanyai diriku. Kutantang diriku untuk bicara dan menuliskannya. Siapa diriku sebenarnya?
Ternyata jawabannya mudah. Saya hanyalah orang biasa. Saya lahir di kampung dan tumbuh di kampung tanpa suatu keistimewaan. Jadi jangan heran jika suatu ketika melihat saya begitu kampungan.

Di masa kecil hingga dewasa, keluarga kami hidup di rumah yang sangat sederhana, berlantai tanah, beratap seng dan berdinding tripleks. Ini cukup melindungi kami dari panas dan hujan. Ini lumayan nyaman walau setiap tahun kebanjiran.

Sekali lagi, saya hanya orang biasa. Tak ada keistimewaan. Saya anak ke-5 dari 9 bersaudara. Namun satu kakakku meninggal saat bayi karena kena diary dan tak tertolong jiwanya.

Saya masih ingat tidur di ranjang besi ber-5 atau ber-6 (kakak dan adik). Tidurnya pasti hangat karena berdesak-desakan. Tapi pada umumnya, sayalah yang paling sering jatuh dari ranjang. Entah berapa jam saya tertidur lelap di tanah yang berpasir. Saya tidak merasakan jatuh. Pagi hari saya bangun dengan mata segar. Saya dengan cekatan membersihkan pasir dari rambutkungan penuh bahagia karena saya bisa segera berenang di sungai bersama kawan-kawan sebelum kami semua ke sekolah.

Seperti penduduk kampung lainnya, saya tidak jijik berenang di sungai meski di sekitarku banyak sampah dan kotoran. Kuhalau saja dengan penuh semangat, lalu berenang lagi. Kan saya juga sering diminta ibu membuang sampah di sungai. Semua penduduk melakukan hal yang sama.

Saya bahagia meski sebelum dan sepulang sekolah tidak kudapatkan makanan yang enak. Sudah cukup bila tersedia nasi. Itupun dari beras yang berkualitas sangat rendah dan berbau karung (jatah Ayah sebagai guru SD). Syukur-syukur jika ada sayur tumis kankung yang dipetik dari parit di belakang rumah. Lebih spesial lagi jika sewaktu-waktu ada telur ayam yang bisa di dadar (istilah bugis).

Kadang-kadang di sore hari saya bersama kakak atau adik pergi memancing ikan di parit dengan umpan cacing tanah. Jika kami dapat ikan agak besar (sebesar telapak tangan bayi), kami bisa menggorengnya. Namun terpaksa, wajahku berbelang-belang putih karena alergi ikan mujair tersebut.

Saat hujan, saat sawah sudah berair, saya bersama kakak atau adik ke sawah di pagi hari untuk mencari siso (apa bhs -Indonesianya ya?), semacam siput tapi bisa di makan. Kadang-kadang saya takut digigit ular tapi kakakku meyakinkan “Berdoa saja, ularnya tidak akan menggigit kita”. Siso yang kami dapat bisa menjadi lauk bagi keluarga kami.

Bukankah semua ini fenomena biasa yang menunjukkan saya adalah orang biasa?

Saya bukanlah orang istimewa. Saat SD, saya hanya bisa membaca dan menghafal perkalian, bisa menjumlah, mengurangi, mengali, dan membagi bilangan bulat. Saya baru pertama melihat bilangan pecahan saat di SMP. Selama sekolah, saya hampir tak pernah membeli buku. Saya bukanlah orang yang menyadari bahwa pendidikan itu penting. Makanya saat paman saya bilang, pendidikan itu mahal. Ah itu tidak masuk di akal saya. Buktinya saya bisa sekolah tanpa harus bayar banyak. Pengalaman sekolah saya sebagian telah kutuliskan di catatan sebelumnya berjudul “Mengapa kok Anda bisa sukses?”

Sekali lagi tak ada yang
hebat pada diriku. Saya hanya seorang anak kampung.

Kehidupan saya sebagai “Anak Kampungan”

Oh ya, saya teringat hidup di kampung. Betapa sulitnya mendapatkan air tawar yang bersih. Di musim hujan, kebanjiran, air di mana jadi berwarna coklat/tanah. Di musim kemarau, air di sungai jadi asin. Kadang-kadang kakak sudah berusaha menggali 3 sumur di tempat yang berbeda, tapi semua hanya memberikan air asin. Akibatnya, saya sering harus bangun tengah malam membantu orang tua mendapatkan air tawar di sumur tetangga. Dengan sabar, kami menimba air. Sering terjadi, sekali menimba hanya bisa mendapatkan sekitar 1- 3 gelas air, itu pun air keruh. Kami dengan sabar terus saja menimba hingga mendapatkan beberapa ember. Air itu kami endapkan untuk memperoleh air yang cukup jernih.

Di saat saya agak besar, usia SMP dan SMA, hampir setiap hari Minggu saya berjalan sekitar 3 kilo ke desa seberang, tempat di mana banyak air tawar yang jernih. Kujinjing cucianku yang sudah kubungkus dengan sarung. Saya berjalan kaki dengan seorang tetangga. Ingin banget naik dokar, tapi tidak punya uang. Perjalanan pagi lumayan ringan karena kami masih punya banyak tenaga. Namun perjalanan pulang kadang-kadang terasa berat. Jika sudah sore dan pakaian yang kujemur tadi belum kering, terpaksa saya pulang dengan jinjingan yang lebih berat. Kami pun belum makan siang dan masih harus berjalan sekitar 3 kilometer. Itulah antara lain rutinitas kehidupan di kampung

Bukankah semua ini fenomena biasa yang menunjukkan saya adalah orang biasa?

Tapi sekarang, namaku kadang-kadang dilengkapi gelar, S.Pd.; M.Pd.; dan PhD, masing-masing menunjukkan gelar S1, S2, dan S3 di bidang pendidikan. Alhamdulillah, gelar S1 dengan beasiswa TID, S2 dengan URGE, dan S3 beasiswa ADS Australia. Bahkan ada lagi yang bertanya: emang dapat gelar apalagi setelah postdoctoral di Afsel BU??? Hmmm pertanyaan menarik.

Percayalah, semua gelar itu ada karena kebaikan banyak orang. Terlalu banyak kebaikan orang lain yang saya dapatkan, baik di kampung, di Makassar, di Surabaya, bahkan di luar negeri seperti di Australia dan Afrika Selatan. Oleh karena itu semoga saya dan keluarga juga punya kekuatan untuk berbuat baik.

Apakah dengan 3 gelar itu membuatku berubah dari orang biasa menjadi orang luar biasa???

Rasanya tidak. Gelar itu hanya pertanda bahwa di samping banyak kebaikan yang kudapatkan dari orang lain, gelar itu juga sebagai pertanda bahwa saya telah melalui masa-masa perjuangan, telah melalui sejumlah tantangan dalam kehidupan ini. Bahwa saya secara tidak sadar/setengah sadar/sadar sepenuhnya telah melalui perjalanan panjang, perjalanan pendidikan, dan ini berkat kebaikan dari banyak sekali orang lain termasuk pihak penyedia beasiswa.

Saya sungguh orang biasa. KONSEKWENSINYA APA?

Jadi jangan pernah ngeri pada saya.

Jangan pernah takut pada saya.

Jangan melihat saya sebagai orang yang patut disanjung.

Jangan pernah melihat saya orang pintar.

Saya orang biasa-biasa saja.

Saya asli Bugis-Makassar (Ayah Bugis dan Ibu Makassar). Meskipun orang Bugis Makassar terkenal dengan kebangsawanannya, tapi percayalah saya bukan bangsawan.

Saya tak perlu sok hebat di depan Anda. Saya tak perlu sok jadi orang penting di depan Anda. Tak ada alasan bagiku untuk sombong di depan Anda. Kita sama-sama belajar. Saya sedikit tahu “ini” dan Anda sedikit tahu “itu”. Kita berbagi saja untuk sama-sama lebih tahu Percayalah. Jangan pernah ciptakan jarak dengan saya karena saya HANYA orang biasa.

Memang sih, ada yang berubah secara fundamental pada diri saya, meski saya masih tergolong orang biasa-biasa saja. Apa itu?

Saya telah mengenali apa yang dulu tak kukenali?
Saya telah melihat apa yang dulu tak kulihat?
Saya telah menyadari apa yang dulu tak kusadari?
Saya
bahkan sering menangisi sesuatu yang dulunya tak menyentuh perasaanku sama sekali. Dan inilah masa penting dalam hidupku, karena telah menyadari bahwa "PENDIDIKAN ITU SUNGGUH SANGAT PENTING", membuat kita mengenali, melihat, dan menyadari sesuatu.

Ijinkan saya memperjelasnya dengan contoh.

Saat kecil, saya melihat, di pinggir sungai tepat di belakang SD di kampungku, selalu di bangun (apa ya namanya). Itu loh untuk menghindari pinggir sungai terkikis habis, maka dibangun semacam yang di bendungan itu loh.

Setiap tahun itu dibangun. Mengapa kok setiap tahun? Karena setiap ada banjir, bangunan itu runtuh. Entah, apakah mereka tak mengerti campuran pasir dan semen yang benar? Apakah mereka tak mengerti pengaruh dahsyatnya aliran air? Atau apakah mereka berusaha mendapat keuntungan dari proyek pembangunan itu?

Contoh lainnya: jalanan di kampung kami selalu diperbaiki, tapi setiap selesai banjir, jalanan berlobang lagi. Dulu, saya tak mengerti. Saya tak melihat ketidakberesan ini? Sekarang saya telah menyadarinya bahwa ini juga ada hubungannya dengan pendidikan.

Kini, saya memahaminya ketika mendengar ada gedung sekolah rubuh, ada jembatan runtuh. Dulu saya tak menangis. Tapi sekarang, di kamar kecil ini, di benua nan jauh dari Indonesia, di tengah kesendirianku, saya sering tak mampu menahan kesedihan dan tetesan air mata membaca berita-berita penderitaan sejumlah rakyat Indonesiaku.

Dulu, ketika air bersih begitu sulit di kampungku, saya pun tak menyadari bahwa ini adalah salah satu tanggung jawab pemerintah, bahwa mereka seharusnya bisa mendistriibusikan air bersih ke masyarakat. Saya tak mengerti saat itu.

Saya tak mengerti, bahwa sungai di kampung kami telah menjadi media transportasi, menimbulkan kebisingan, namun menghasilkan pendapatan daerah yang banyak, yang selayaknya memberi keuntungan untuk kesejahteraan kampung kami. Saya tidak mengerti ketika mengunjungi rumah yang begitu besar, mewah, dan menunjukkan kekayaan, Masyarakat hanya berkomentar “iya dulu Bapaknya Bupati”, “oh, itu kan anak pejabat J”. Tak ada yang mengherankan saya saat itu.

Saat kecil, saya kadang-kadang ikut meramaikan acara kampanye. Asyik kan? tenda didirikan dan kadang-kadang ada hiburannya. Kami pun bersemangat mendengar janji “Jika Anda pilih Golkar dan partai Golkar menang, maka jalan-jalan depan rumah Anda akan kami perbaiki”. Memang iya diperbaiki, tapi dalam beberapa bulan jalan itu kembali rusak. Artinya ada proyek baru lagi buat mereka. Semua itu tak kusadari!!!

Dulu, saya merasa takut dengan pejabat. Saya merasa pejabat itu punya uang dan segalanya. Saya tak mengerti bahwa mereka itu hanya pemimpin yang tugasnya melayani kami. Oleh karena itu, saat saya terpilih menjadi mahasiswa berprestasi dan kami punya kesempatan untuk bertemu dengan beberapa menteri, saya begitu SHOCK, di suatu jamuan malam. Mengapa? Di saat pertemuan dengan menteri P & K, seorang mahasiswa dari UI Jakarta memprotes dengan keras Pak Menteri dan dengan lantang menyebutkan ketidaktepatan dari kebijakannya. Saya benar-benar shock. Bagi saya, saya sudah beruntung bisa melihat para pejabat penting negara. Saya bahkan berpikir, jika mungkin, saya ingin bersalaman bahkan mencium tangan mereka. Suatu suatu kehormatan bisa melihat mereka secara langsung.

Di Madrasah, kami sering mendengar cerita-cerita kepemimpinan Nabi. Kami juga diceritakan bagaimana seorang sahabat Rasulullah SAW, Umar bin Khattab suatu ketika menangis karena menemukan seorang Ibu memasak batu demi menghibur bayinya yang menangis kelaparan. Sang Ibu selalu berkata, sebentar lagi makanannya matang ya Nak. Ketika ini diketahui oleh Umar, beliau menangis dan beliau pun menjinjing sendiri karung gandum buat makan keluarga ini.

Dulu saya berpikir, kepemimpinan semacam ini hanya bisa terjadi di masa lalu. Saya tak mengerti kalau prinsip-prinsip kepemimpinan itu juga seharusnya diterapkan di masa sekarang.

Sekarang, saya sudah PAHAM, bahwa banyak yang tak beres di negeriku. Banyak yang sibuk korupsi. Dalam hati saya protes keras. Mereka yang baru saja menjabat sudah dapat mobil mewah, tempat tinggal yang nyaman. Saya jengkel membaca berita bahwa kantor pejabat yang sudah mewah masih ingin lebih dipermewah. Saya teringat dengan bacaan saya, sebuah buku yang ditulis oleh mantan wakil perdana menteri China. Di buku itu digambarkan kebijakan pemerintah China antara lain bahwa mereka mengurangi biaya membangun gedung-gedung pemerintahan. Mereka mengatakan bahwa hal yang mendesak dibangun atau diperbaiki adalah gedung-gedung sekolah, perumahan bagi guru-guru, pusat-pusat penelitian dll. Mereka menaikkan gaji guru karena percaya bahwa guru adalah agen-agen yang akan terus berdampak memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Membangun rumah bagi guru lebih mendesak daripada merenovasi gedung-gedung pemerintahan.

Pantaslah jika secara statistik, kemajuan China sangat luar biasa. Cina semakin di segani oleh dunia, termasuk oleh negera-negara maju. Video kemajuan China secara statistik bisa dicermati antara lain di http://www.youtube.com/watch?v=YpKbO6O3O3M.

Bagaimana kenyataan di negara Indonesia? Negara yang begitu kaya raya namun punya utang yang sangat banyak. Negara yang telah menyatakan kemerdekaan namun kenyataannya menjadi tempat banyak penjajah (baik penjajah dari dalam maupun dari luar).

Saya sering sekali sedih mendengar cerita masyarakat. Misalnya, si Anu temanku atau keluargaku sudah menghabiskan uang beratus juta, bahkan miliaran demi mencapai cita-cita menjadi bupati, menjadi anggota DPR. Banyak sekali cerita yang mungkin dianggap biasa saja bagi mereka (bahkan kebanggaan bagi orang-orang tertentu), tapi membuat diriku sangat muak dan menimbulkan kesedihan demi kesedihan yang mendalam. Saya pun menjadi orang yang jauh lebih sensitif dengan ketidakberesan ini.

Saya kini sudah PAHAM

Saya kini sudah PAHAM, bahwa masalah kompleks, masalah ketidakadilan, masalah kebodohan di negeri kami hanya bisa diatasi melalui perbaikan pendidikan. Sayangnya pendidikan kita menjadi semakin parah. Buktinya, terdapat kepala sekolah, guru, bahkan orang tua membiarkan pihak-pihak tertenyu membantu anak kita nyontek. Kita telah menghancurkan anak-anak kita dengan merusak fondasi kejujuran yang dibutuhkan dalam hidup mereka di masa depan.

Saya kini PAHAM bahwa keterbelakangan dan ketidakadilan ini hanya bisa diatasi jika kita terdidik. Jika kita melalui proses pendidikan yang bermakna, bukan pendidikan yang hanya menyibukkan peserta didik agar lulus ujian. Bukan pendidikan yang menekankan hafalan. Bukan pendidikan yang terus menyuguhkan try out soal, yang hanya menyiksa anak-anak kita dan menyia-nyiakan waktu-waktu berharga mereka yang seharusnya digunakan untuk tumbuh secara alami. Bukan pendidikan yang mematikan kreatifitas anak. Bukan itu! Bukan itu! Bukan itu! Pleaeeeeeeese. Bukan itu!

Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Manusia yang mau mengoptimalkan akal pikirannya. Manusia yang mau mendengar hati nuraninya. Manusia yang mau jujur pada dirinya. Manusia yang mengenali apa yang menjadi masalah nyata dalam kehidupan ini dan manusia yang punya kapasitas untuk memecahkan masalah.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, ijinkan saya (sebagai orang biasa) menegaskan bahwa hidup ini sementara. Kita akan dihapus dari peredaran ini dan digantikan oleh anak-anak kita dan cucu-cucu kita. Tegakah kita bila anak-anak kita menderita karena melihat anak dan cucu mereka menderita? Tentu kita tidak tega. Bukankah kita sekarang bekerja keras demi anak-anak kita? Tentu kita tak mau mereka menderita.

Oleh karena itu, kita harus segera berbenah diri. Kita harus bangun bangsa kita, kapanpun dan dimana pun kita.

Ijinkan juga saya untuk jujur bahwa pendidikan telah merubah saya walau pun saya masih tetap orang biasa. Seorang Sitti Maesuri, yang hanya orang desa, yang masa kecilnya mandi di sungai yang kotor pagi dan sore, yang hidupnya kelihatan melarat karena rumahnya sering berlumpur akibat banjir, yang pernah hampir meninggal dunia di tengah samudra luas saat bayi karena ombak besar [kaena Ayah yang pernah bertugas di pulau].

Dengan pendidikan, setelah puluhan tahun kemudian, kini dia mampu bersuara. Dia mampu menuliskan ini untuk Anda. Dia kini bisa duduk berdiskusi dengan beberapa Professor di luar negeri tanpa rasa takut, bisa berdiri menyajikan ide-ideanya di sejumlah konferensi, bisa mengenali, melihat, menyadari yang dulu tidak dikenalnya, tidal dilihatnya, dan tidak disadarinya. Ini semua karena pendidikan.

Pendidikan adalah tujuan jangka panjang. Pendidikan adalah proses yang panjang. Hasilnya baru tampak setelah sekian tahun kemudian. Artinya, jika Anda membangun pendidikan ini dengan tujuan jangka pendek, karena mau mendapatkan label sukses, maka Anda harus mengoreksi diri. Kata sahabat saya Bapak Bob Hardian, kita perlu menanam tanpa harus memikirkan memetik hasilnya. Sama jika Anda menanam pohon jati sekarang, mungkin cucu kita dan kawan-kawanya yang menikmati, sedang kita sudah terkubur.

Semoga Allah selalu membimbing kita pada jalan yang benar. Semoga Allah membuka pintu kebaikan untuk kita semua. Maafkan saya jika curhat ini kepanjangan.