Saturday, October 08, 2011

Mengapa kok kamu bisa sukses

Berikut, ijinkan saya berbagi cerita, yaitu percakapan saya dengan seorang kawan baik saya. Semoga ceritanya mudah dipahami. Maklum, saya belum pernah punya pengalaman menulis dialog atau pun cerpen. Bahasa aslinya sih bahasa Indonesia Bugis, tapi saya tulis dalam bahasa Indonesia. Jadi rasanya kurang asyik untuk ukuran orang Bugis.

Untuk ringkasnya, sebutlah nama kawan saya H (untuk Husni) dan saya SMP (untuk Sitti Maesuri Patahuddin).

H : Suri, mengapa kok kamu bisa sukses? [dia memamnggil nama kecilku]

SMP : Maksudmu apa? [Saya pun balik bertanya]. Sukses itu kan relatif, seperti kata orang, di satu sisi dia sukses, di sisi lain dia gagal.

H : Maaf ya Suri. Kamu itu kan berasal dari kampung, keluarga miskin, saat kecil lebih banyak main di sungai. Ayooo, sungainya bersih tidak?

SMP : Hush, jangan bilang gitulah. Cukuplah anakku yang menjerit saat kuceritakan. Fika Fida bilang “Mummy, disgusting!!!!” Maklum, mereka kalau renang, ya di kolam renang. Tapi kolam renangku kan panjang dan gratis {akhirnya kami pun tertawa-tawa]

H : Okelah, dalam situasi yang serba terbatas, kamu malah pernah nginjak istana presiden. Saya dengar IKIP Ujungpandang bangga karena baru kali itu ada mahasiswa berprestasi menjadi 10 finalis pertama.

SMP : Oh, iya. Saat itu sedikit heboh, karena saya tidak mau berangkat sendiri ke Jakarta. Saya tidak punya bayangan, seperti apa Jakarta itu. Saya mau ke mana. Saya takut di culik. Saya takut naik pesawat sendiri. Saat itu, saya ditertawain oleh para pembantu rektor IKIP.

H : Tapi kamu jadi berangkat kan?

SMP : Iya, karena permintaan saya supaya ada yang menemani dipenuhi. Dosen berprestasinya terpaksa diberangkatkan lebih awal (seharusnya dia berangkat 3 hari kemudian). Dalam 3 hari itu, saya kan harus menjalani proses seleksi untuk dipilih 3 atau 5 terbaik. Saat itu sih saya tidak berhasil.

H : Tidak apa-apa. Sudah lumayan kan? Suri, kamu juga dapat beasiswa S2 di Jawa bahkan kamu dapat beasiswa bergensi dari Australia untuk S3, dan juga kamu sudah mengunjungi beberapa negara tanpa pakai uang pribadi. Itu kan sukses namanya Suri. Apa toh kuncinya? [dengan wajah penuh harapan supaya saya menjawabnya]

SMP : Kata orang, itu sudah suratan nasib.

H : Tapi mungkin kamu punya rumusnya deh.

SMP : Eh, seperti matematika saja, pakai rumus segala.

H : Coba Suri pikir, kira-kira faktor apa yang membuat kamu sesukses itu.

SMP : Ok, mungkin begini ya. Saya rasa saya punya satu kelebihan yang diberikan Allah, yaitu tidak mau menyia-nyiakan waktu. Tapi sepertinya ini adalah faktor eksternal.

H : Maksudmu? [Tanya kawan saya dengan wajah penasaran]

SMP : Saat sekolah SD, SMP, atau SMA, rasanya hidup itu mengalir apa adanya. Saya tidak perlu banyak berfikir. Tapi saat kuliah S1 di IKIP Ujungpandang ada kesadaran baru yang mulai muncul.

H : Okey

SMP : Saya rasa, ini akibat situasi yang sulit yang saya hadapi. Pernah, suatu ketika saya minta uang ke orang tua, mungkin saya mau beli diktat kuliah. Bapak lantas dengan keras menjawab pakai bahasa Makassar "Sulara pappuruki lagi kusawala kusambei", artinya, celana dalam saya saja tidak mampu kuganti/kubeli”. Padahal celana Bapak itu sudah tua sekali. Saya pikir Bapak berkata hal yang benar. Lebih keras lagi karena dia bilang ke saya “kalau memang itu harus dibeli, yah kamu berhenti kuliah juga tidak apa-apa. Apa boleh buat!”

H : Wah keras juga yah kata-katanya.

SMP : Akibatnya, saya tidak berani lagi minta uang.Tapi tiap awal bulan, saya tetap pulang kampung untuk ambil beras dan berharap dikasih uang. Seingat saya, saya tetap diberi bekal, tapi uang itu tidak cukup untuk makan superhemat selama 2 minggu. Hanya untungnya, kalau kakak yang tertua atau suaminya datang nengok, biasanya ngasih uang pembeli minyak tanah. Maklum, dia tahu kompor saya sudah kering.

H : Kak Eda maksudmu?

SMP : Iya, sebenarnya itu dia jauh lebih hebat dari saya. Dia pembuka jalan dalam keluarga kami. Karena dia kuliah dan sukses dan tidak menyusahkan orang tua (maklum dia kuliah sambil menerima jahitan karena belajar menjahit di kampus), dan bisa menjaga nama baik keluarga, maka adik-adiknya juga dibolehkan kuliah. Dulu dia dilarang kuliah karena kata saudara Bapak, perempuan itu bisa mempermalukan keluarga. Jadi lebih baik anak perempuan tinggal di rumah saja. Untung ada Om (suami dari sepupu 2 x nya Ibu) yang membelanya, sehingga kami bersaudara (8 orang) semua bisa merasakan kuliah.

H : Oh gitu toh Suri.

SMP : Kembali ke cerita Bapak tadi. Biasanya, saat Bapak ngantar ke terminal, sebelum saya naik ke mobil, dia merogoh lagi kantongnya, memberi uang tambahan. Kalau tidak salah Rp5000. Cukuplah untuk makan 5 atau 10 kali. Mungkin dia kasihan ya sehingga uang itu terpaksa diberikan ke saya. Dan ini membuat saya tambah terharu. Saya pikir, sungguh orang tua saya sebenarnya ingin memberi segalanya, hanya beliau tak mampu saja. Saya dan dua kakak laki-laki saya kuliah dan tinggal satu kamar sempit (ukuran sekitar 3.5m x 2.5m). Kakak laki-laki tertua (kuliah di Teknik IKIP) sering kerja di bengkel sedangkan kakak lagi-laki kedua (kuliah di IAIAN) ikut kerja batu bersama tukung batu tentangga kami. Jadi mereka pada dasarnya tidak dibiayai untuk sehari-harinya. Untuk bayar SPP, biasanya ibu atau Kak Eda pinjam uang. Saya pernah bersama ibu pinjam uang ke seorang tukang becak

H : Berat juga ya perjalanan hidup keluargamu.

SMP : Nah, biasanya, kalau saya pulang ke kampung, saya merasakan keterbatasan keluarga saya. Orangtua bersama empat adikku hidup serba terbatas sedangkan saya kuliah. Di sepanjang perjalanan Pangkep-Makassar (sekitar 3 jam), saya pasti lebih banyak meneteskan air mata.
Dalam hati, saya berjanji, saya TAK AKAN menyia-nyiakan waktu saya di Makassar.
Itulah janji yang muncul pada diri saya akibat situasi sulit tersebut.

H : Okey

SMP : Nah, oleh karena itu, biasanya sebelum saya kuliah, saya menyiapkan diri, dan sudah mengecek hal apa yang sudah saya ketahui dan hal apa yang belum. Saya ingin setelah kuliah ada tambahan ilmu. Sesudah kuliah, jika ada yang kurang jelas, saya sering pinjam diktat kawan untuk saya pelajari. Diktat yang sering saya pinjam adalah diktatnya Nuraeni Iskandar (orang Mangkoso) dan saya berjanji segera mengembalikannya. Jadi saya cepat-cepat pulang untuk menyalin diktat itu sambil berusaha memahaminya. Yang lucu, teman-teman justru lebih senang membaca buku catatan saya dari pada diktat dari dosen. Jadi selama kuliah, seingat saya, saya tidak pernah beli buku/diktat. Untuk tidak kelaparan, saya biasanya ke rumah dosen saya, membantu menjaga anak-anaknya, mencuci, atau membersihkan rumahnya. Nah, di sana saya bisa ikut makan meskipun sudah tidak punya uang. Atau kadang-kadang saya bergabung dengan kawan untuk belajar bersama. Mereka senang pada saya karena saya senang berbagi pengetahuan. Kadang-kadang mereka lebih paham saat saya menjelaskan dibandingkan dosen yang menjelaskan. Maklumlah, saya sudah pelajari diktat mereka. Karena itu, saya pun bisa ikut makan bersama mereka.

H : Gitu toh Suri! Menarik juga ternyata ceritanya tapi saya kok sedih mendengarnya.

SMP : Jadi saya tuh tidak mau menyia-nyaiakan waktu. Begitu juga saat saya saya mulai berkeluarga. Saat itu menjadi dosen baru di Unesa. Biasanya, setelah mengajar, saya lihat kawan-kawan duduk sambil ngobrol. Nah, saya pergi ke tempat Prof. Mohamad Nur, karena di sana ada banyak tugas yang perlu saya selesaikan. Saya ikut belajar melakukan penelitian pada beliau. Beliau sering minta saya baca buku baru milikinya untuk menjadi materi penelitian. Saat itu, saya berpikir, saya tidak boleh buang-buang waktu. Kasihan bayi saya di rumah. Waktu untuk dia, tapi saya harus di kampus. Kita kan tidak boleh pulang ke rumah karena sebagai pegawai negeri kan?

H : Okey

SMP : Sama juga ceritanya saat saya dapat beasiswa ADS untuk kursus bahasa Inggris di Bali 9 bulan. Saya SANGAT TERPAKSA berpisah dengan anak usia 1 dan 3 tahun. Mereka tinggal bersama suami saya di Surabaya dan tante sengaja didatangkan dari Sulsel untuk turut membantu menjaga anak kami. Apalagi suami juga sibuk banget ngajar dan banyak tugas-tugas lain di kampus. Untung saat itu kami banyak dibantu oleh tetangga-tetangga yang amat baik hati.
Dan
sejujurnya, itulah masa terberat dalam hidupku karena rasa tak mampu meninggalkan anak. Saat itu, seminggu sekali atau paling lama dua minggu sekali saya pulang ke Surabaya. Untungnya ada teman senasib saya. Namanya Endang, dosen Unair. Jadi kami selalu bersama-sama naik bis malam, dan tiba di Bali pada pagi hari atau berangkat dari Bali pada pagi hari dan tiba di Surabaya tengah malam.

H : Luar biasa ternyata perjuanganmu, Suri.

SMP : ya, berat banget rasanya, baik bagi saya maupun bagi suami. Rasanya tidak sanggup, tapi itulah proses perjuangan. Nah, di sanalah saya benar-benar belajar bahasa Inggris. Ada kawan saya namanya Pak Asrul dari Kendari, menegur saya. Bu Maesuri ini kok rajin banget seperti saja mau jadi guru bahasa Inggris. Maklum jika tidak ada kelas, saya tinggal belajar di perpustakaan dan baca berbagai macam buku bahasa Inggris. Jadi saya di IALF Bali, pagi, siang, sore dan malam. Saya selalu ingat suami dan anak, dan berjanji dalam hati untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Saya tidak ingin gagal. Jadi ini juga faktor eksternal.

SMP : Begitu juga saat S3. Ada sejumlah penerima beasiswa S3 yang tidak selesai studinya sedang masa beasiswa sudah habis, bahkan ada yang DROP out. Nah, saya takut itu terjadi pada saya karena mengingat suami saya rela kehilangan pekerjaan sebagai dosen PNS demi kebaikan keluarga kami. Beliau mau berkorban demi istri dan anak-anaknya. Siang hari, saya di kampus, bahkan kadang sampai jam 10 malam. Malam hari, giliran suami saya kerja hingga pagi hari. Beliau sengaja memilih kerja malam (melawan ritme tubuhnya yang biasanya kerja siang) demi mendukung studi saya. Saya sungguh menghargai pengorbana beliau. Nah, dalam keadaan seperti itu, saya TIDAK mau membuang-buang waktu. Ini kan juga faktor eksternal ya?

H : Gitu yah.

SMP : iya, saya tak pernah tega untuk buang-buang waktu. Suasana di kampus saat S3 sih sangat kondusif. Semua orang sibuk di kantor masing-masing dan kita hanya ketemu saat morning tea atau lunch. Tapi peluang lalai kan tetap ada karena ada akses internet yang cepat dan komunikasi telepon sangat murah. Maknya, saya lebih sering non aktifkan HP saya selama di kantor. Hanya suami dan anak-anak yang biasanya menghubungi saya lewat telp kantor. Waktu utk email atau pun baca koran online juga saya atur. Biasanya tengah malam baru aktif email. Apalagi saat saya menjadi Presiden mahasiswa Indonesia UQ (PPIA UQ). Saat suami sudah berangkat kerja dan anak-anak sudah terlelap, saya sibuk mengurus organisasi. Kehadiran merekalah yang membuat waktu saya sangat berharga.

H : Jadi kamu tidak belajar bagaimana sebenarnya mengatur waktu?

SMP : Tidak pernah. Faktor external itu saja serta sering ingat juga sih Firman Allah, bahwa “Demi waktu, sungguh manusia itu merugi kecuali .....”

H : Okey, saya jadi paham sekarang. Saya adalah orang yang kurang sukses dibandingkan Suri, padahal saya tuh hidupnya lumayan sejak kecil. Orang tua saya menyiapakan segala yang saya butuhkan termasuk semua buku pelajaran, tapi ternyata faktor diri kita yang menjadi kunci. Saya tidak menghargai waktu seperti yang kamu rasakan, apalagi merasa berdosa karena sering tinggal ngobrol. Trims ya Suri. Saya akan ceritakan anak saya tentang ini. Jangan kapok ya ngobrol dengan saya. Kamu tidak merasa buang waktu kan sekarang?

SMP : sama sekali tidak, bahkan saya berterima kasih, karena pertanyaanmu membawa saya mikir dan juga bisa mengambil hikmah dari yang pernah saya lalui.

Begitulah obrolan yang terjadi antara saya dengan kawan yang juga sempat membuat mata saya berkaca-kaca. Ternyata, situasi sulit, jika kita hadapi dengan penuh kesadaran, malah bisa berdampak positif bagi kita. Artinya, janganlah kita memandang bahwa kita punya kesempatan yang lebih sedikit dari pada orang lain. Semua orang punya chance untuk hidup lebih aman, lebih sejahtera, dan lebih damai. Semoga dialog kami bermanfaat bagi pembaca.