Sunday, October 22, 2006

Kampung halamanku yg kurindu

Cerita musim kemarau dari Bu Anny di milis IISB mengingatkan kesulitan2 di kampung saya.
Kampung saya emang tidak jauh dari kota Pangkep, hanya sekitar 3kilo. Tapi sangat unik
- jika musim hujan, kebanjiran
- jika musim kemarau, kesulitan air.
Saat ini pun, Ibu saya setiap hari harus membeli air untuk minum atau untuk cuci-cuci. Saya jadi ingat ketika masa kecil, saya harus berjalan sekitar 2 kilo ke kampung seberang untuk mencuci pakaian keluarga.
Emang lumayan capek apalagi dalam perjalanan pulang harus memikulpakaian basah. Tapi ternyata, saya juga amat senang saat itu. Karena kami bisa nyuci sambil ngobrol. Kadang sambil membantu menimba airsumur.
Saya juga ingat, saya, Ibu, Bapak, atau saudara sering tidak tidur malam demi menungguin air sumur di belakang rumah. Walau itu hanya mendapatkan sekitar 500 ml air sekali menimba. Itu pun warnanyakecoklatan. Jadi harus menungguin berjam-jam untuk bisa mendapatkan air tawar yg lebih jernih.Ternyata kehidupan saya sangat unik. Mungkin semua ini yang sering membuat hati saya selalu dekat dengan orang2 yang melarat. Ingatan ke masa kecil ini semakin menyadarkan saya bahwa betapaBapak Ibu saya kuat dalam menghadapi tantangan hidup dan menariknya betapa beraninya mereka melahirkan sembilan anak dalam situasi yg sangat terbatas. Mungkin beginilah pengaruh keyakinan Bapak sayabahwa 'Banyak anak banyak rejeki' dan keyakinan beliau bahwa 'masing-masing anak punya rejeki masing2'

Anyway, kasus ini sesungguhnya menarik bila dikaitkan denganbagaimana peran pemerintah dalam memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Kepulauan Pangkep adalah kepulauan yang terhitung kaya (memiliki ratusan pulau-pulau). Ada banyak sekali orang kaya di sana, naik haji hingga berkali-kali, rumah besar dll. Pendapatan daerah juga seharusnya besar. Tapi tentu pengelolaan keuangan daerah terlalu patut dipertanyakan.

Mengapa desa saya hingga saat ini, pengadaan air tawarnya belum juga bagus. padahal di kota yg berjarak hanya sekitar 3km sudah pakai air PAM. Mengapa sungai depan rumah saya semakin melebar dan semakin dangkal padahal sungai tsb menjadi jalur utama transport laut yg membawa hasil laut ke kota Pangkep?
Beginilah kehidupan teman-teman.

Semoga ingatan-ingatan semasa kecil ini membuat hati saya selalu berpihak pada orang2 yang terlantar dan semoga orang-orang yg sedang melalui kerasnya kehidupan bisa menjadikan saya sebagai kawan dekatnya.

Dan bagi saudara saya yg senantiasa hidup dalam kemewahan dapat tersentuh hatinya untuk segera berbagi pada saudara-saudarakita yang ditimpa musibah atau kesedihan.

Hikmah dari kehidupan melarat

Pertama, saya ingat, ketika kecil saya sering ditegur oleh ibu saya jika piring makan saya tidak bersih atau panci nasi tidak bersih betul. Saya sering lihat ibu saya memungut semua beras yg terjatuh di tanah/lantai ketika selesai nampi beras. Ibu saya selalu bilang dalam bahasa Makassar yang kira-kira terjemahannya sbb. 'jangan buang-buang beras. Kalian ini sudah beruntung, bisa makan nasi. Dulu, ketika Bapakmu pulang ngajar, ibu hanya bisa menangis terdiam, karena tidak punya beras. Masa iya kamu mau buang-buang beras.' (Hikmah: terhindar dari sikap Mubadzir)

Kedua, saya selalu ingat segera setelah gajian bulanan Bapak, ibu ke warung bayar utang. Di pertengahan bulan, kalau ibu butuh gula pasir atau minyak tanah, biasanya saya disuruh ke warung untuk 'ngebon'. Maksunya ngambil barang, trus dicatat, lalu habis gajian dibayar lagi. Untunglah tiap bulan dapat pembagian beras keras dan kadang bau karung, jadi beras jatah pegawai negeri cukup buat makan kami sekeluarga. (Hikmah: beras bau karung pun disyukuri. Tidak berani minta2 duit untuk jajan di sekolah karena mengetahui situasi keuangan orang tua)

Ketiga, saya ingat ketika saya sekolah di SMA, kadang-kadang saya pakai tas plastik untuk bungkus kaki. Maklum, sepatu saya bocor sedangkan saya harus jalan kaki ke sekolah sekitar 3 kilometer jaraknya dari rumah. Saya tidak mungkin memaksa orang tua saya untuk membeli sepatu. Wong saya tahu dompet ibu saya kosong. Kantong celana Bapak saya tak berduit. Sepatu saya emang pantas selalu rusak, harganya aja sekitar Rp 3.500 dan setiap hari dipakai ke sekolah jalan kaki pp sekitar 6 kilo sehari. (Hikmah: problem solving: pakai plastik agar kaki tak basah)

Keempat, saya sering mendapati Ibu saya membantu orang di kampung jadi 'event organiser', dipercayakan untuk masak atau ngatur masakan untuk sebuah pesta pernikahan. Kadang-kadang Ibu saya kerja mulai pagi hingga larut malam dan berlangsung berhari-hari. Semua tanpa bayaran apa pun. Jika kami sedikit menuntut supaya Ibu jangan berlama-lama bantuin orang, dengan tegas Ibu menasehati kami 'Nak, kita kan tak punya duit. Kita tidak bisa nyumbang uang maka satu-satunya yang dapat kita sumbangkan adalah tenaga.' Hal yg kadang-kadang kami (anak-anaknya) protes ketika Ibu sdh pulang ke rumah, dia sudah lapar tapi makanan tidak tersedia. 'Ibu kok tidak bawa makanan pulang sih, kan Ibu yang masak'. Apa jawabnya? 'saya merasa tidak enak ah ambil makanan orang'. Ya Allah betapa jujurnya Ibu saya. Sekarang saya jadi mikir, mungkin kemudahan-kemudahan dalam hidup yg sering saya temui, mungkin rasa cinta orang lain yang sering saya rasakan adalah buah dari keikhlasan Ibu saya dalam mengabdikan hidupnya pada tetangga-tetangganya.

Kelima, ternyata hidup miskin pun tidak menutup kemungkinan untuk memberi. Saya ingat Ibu saya yang sering meminta saya mengantar makanan ke tetangga saya yg hidupnya lebih melarat dari keluarga kami. Walau itu hanyak semangkok sayur tumis kankung (kankung yg dipetik dari belakang rumah). Hingga saat ini saya masih bisa bayangkan wajah ceria dan pujian tetangga saya. Saya sangat senang ngantar makanan ke tetangga ketika saya kecil.

Keenam, ketika saya kuliah, setiap awal bulan saya pulang kampung ketemu orang tua sekaligus berharap untuk dapat bekal uang dan beras. Seingat saya, biasanya saya dapat uang Rp 10.000 atau Rp 15.000, sudah termasuk uang transport. Biasanya uang itu untuk beli minyak tanah atau beli seekor ikan kecil (tembang goreng-itu loh yang banyak sisiknya dan harganya paling murah) ditambah semangkok sayur yg tdk begitu segar (yg penting kan kuahnya!). Saya jadi teringat warung makan di Mannuruki Makassar. Duh nikmat deh!
Dengan bekal uang itu, saya memang tidak pernah berharap beli buku/diktat. Kebiasaan saya, teman beli buku, lalu saya pinjam untuk saya pelajari, saya catat + selesaikan soalnya. Lalu teman saya justru lebih senang pelajari buku tulis saya. Jadi amanlah! Tidak beli bukunya tapi dapat ilmunya.
Apa yang menarik dari phenomena ini?
Biasanya, di sepanjang perjalanan (sekitar 1.5 jam hingga 2 jam dari kampung ke Makassar) saya merenung, berfikir, dan kadang-kadang meneteskan air mata. Mengapa? saya terharu karena orang tua saya dalam kondisi sulit pun, mereka masih mau menyekolahkan kami. Walhasil, setiap habis pulang kampung, saya selalu bersemangat belajar (bagai layaknya baterei yg sudah di recharge!). Saya manfaatkan waktu sepenuhnya untuk belajar dan berorganisasi. Saya berjanji tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanan orang tua saya. Saya juga berharap bisa dapat beasiswa. Dan Alahamdulillah, pada semester IV saya sdh terima beasiswa TID dan saya terpilih menjadi 10 finalis mahasiswa berprestasi tingkat National. Terima kasih ya Allah.

Kok judulnya andai aku punya duit?
Nah, dengan situasi seperti di atas, saya masih teringat dengan pikiran-pikiran saya, ketika saya lihat kedai dimana banyak makanan yang di jual. Ketika saya dipasar, lihat coklat, biskuit, es krim, dll. Diam-diam saya bicara dalam hati, 'Betapa enaknya jadi orang kaya. Betapa enaknya bila kita berduit. Semua itu bisa dibeli oleh mereka, betapa enaknya makanan-makanan itu, andai saya punya duit ……'

Suatu saat, ketika saya S2 dengan beasiswa URGE, duit saya lumayanlah. Beasiswa URGE terhitung tertinggi saat itu bahkan nilainya lebih besar dari gaji teman-teman saya yg sdh terangkat jadi guru. Suatu ketika, saya sulit sekali makan dan ini berlangsung dalam beberapa hari. Selera makan serasa hilang. Ketika saya masuk ke sebuah supermarket, saya bicara dalam hati sambil menantang diri saya 'Ayo, mau makan apa. Silahkan di pilih! Uang sudah ada! Mau coklat? Mau buah? Mau es krim? Silahkan. Pilih apa saja'
Apa yang terjadi saat itu? Saya tetap aja mutar-mutar mencari makanan yg kira-kira saya minati. Tapi TAK ADA. Lalu saya tersadar bahwa pikiran saya 'andai saya berduit' itu salah besar. Saya bahkan jadi merindukan saat2 kesempitan dana tapi bisa makan lahap walau lauknya hanya sambel tomat, atau hanya seekor ikan tembang!
Nah, saat itu uang ada di tangan, tapi saya tidak bisa makan.

Semoga dalam perenungan ini, saya semakin sadar bahwa duit harus dipandang sebagai alat menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan TIDAK BOLEH DIPANDANG sebagai alat pemenuhan nafsu.

Anyway, saya adalah individu yang telah merasakan manfaat luar biasa dari uang yang telah disumbangkan kepada saya untuk biaya pendidikan saya (mulai dari beasiswa S1, S2, dan S3). Insya Allah, semoga Allah memberikan kesempatan yang sama buat saya untuk mengabdikan hidup saya sebelum nafas terakhir saya hembuskan. Semoga Allah memaafkan saya dan memberi saya kesempatan untuk menjalankan amanah kemanusiaan. Duit hanyalah salah satu alat untuk menjalankan amanah selaku khalifah di dunia.

Tulisan di atas saya tulis untuk Renungan Hari Jum'at di milis iisb (milis student/masyarakat Islam Indonesia) pada tgl 20 Oktober 2006

Semoga mereka BAHAGIA

Suatu hari saya menonton berita jam 12 di SBS. Saya melihat bencanalumpur semakin parah. Di persekitaran daerah berlumpur berdiribeberapa anak-anak yang berwajah gembira dan bahagia. Lalu sayabilang ke suami 'Tuh yah, lihaaat, anak-anak itu tampak gembirasaja!'Tiba-tiba saya teringat masa kecil saya.Saya hidup di kampung yang sering tertimpa bencana banjir, bahkanhingga sekarang kampung saya masih sering kebanjiran. Saya masihingat betapa repotnya orang tua dan saudara saya mengamankan barang-barang. Maka jadilah pemandangan, 'kursi duduk di atas kursi', kasurdi atas meja, dll.Pada musim banjir (kadang-kadang rumah kami kami kebanjiran selamalebih dari 3 hari), biasanya, pada malam hari Bapak saya tidaktidur. Beliau duduk di ruang tamu, sambil merokok dan duduk dengantenang. Sesekali beliau keluar membawa senter, lalu masuk lagi kerumah memberi laporan ketinggian kenaikan air. 'airnya naik satujengkal' atau 'Alhamdulillah, sepertinya banjir mulai turun.'Saat itu, perasaan saya tenang-tenang saja. Saya tidak melihatkepanikan pada orang tua kami. Ibu saya hanya sibuk mengamankanbarang-barang. Saya pun teringat ketika air sudah mulai masuk kedalam rumah melalu pintu, Bapak dan Ibu saya tampak tenang saja.Pemandangan banjir adalah pemandangan yang sudah biasa sejak sayamasih kecil. Kadang-kadang ketika saya bangun tidur, sayamerasa 'excited' ternyata banyak air di bawah ranjang saya. Seakaningin berteriak Horeeeeeeeee, bisa main perahu-perahuan.Bahkan hingga saya berusia sekolah menengah atas, seingat saya, sayajustru sangat bahagia ketika terjadi banjir di kampung saya.Mengapa? Kami bisa bermain banjir-banjiran dan ternyata bukan cumakami yang menikmati banjir tersebut. Banyak orang yang dari kotadatang ke kampung kami untuk bermain-main air. Menikmati pemandanganderasnya aliran air di sungai kampung kami. Bermain perahu-perahudll.Hal lain yg sangat saya senangi adalah karena biasanya pada saat-saat banjir, kami bisa menikmati ubi goreng + sambel. Atau ibu sayabikin kroket (bahasa bugisnya koroket). Dari mana ubi kayunya (tahukan Ubi kayu? Orang di Surabaya bilang Ketela pohon ya?).Anyway, biasanya kakak saya pergi beli ubi di kota Pangkep berjaraksekitar 3 kilometer dari kampung saya. Dan tentunya dia menghabiskanwaktu cukup lama untuk berjalan ditengah kebanjiran. Sungguh nikmatmakan ubi goreng hangat di saat-saat banjir!!!Bahkan ketika saya berusia sekolah dasar, rumah orang tua saya ASLIberalaskan tanah. Situasi Pasca banjir pun cukup merepotkan danmenimbulkan pemandangan yang tidak indah. Lantai jadi becek bangetdan kadang-kadang butuh waktu berminggu-minggu untuk kembali menjadipadat/kering. Pemandangan di rumah saya sangat unik. Di mana-manaada balok, deretan kursi antara dua tempat tidur sehingga kami bisasedikit menghindar dari belepotan tanah. Pembaca bisa membayangkanberatnya sendal jepit kami karena tanah-tanah liat yang terlalusetia pada kami.Nah, bagaimana perasaan saya saat itu?Biasa saja!Saya tidak merasa menderita! Kebahagian, senyum, tawa tetap sajamewarnai kehidupan keluarga besar kami.Oleh karena itu, harapan yang selalu muncul di hati saya ketikamelihat saudara saya tertimpa bencana adalah semoga mereka tetapmerasakan kebahagiaan. BAHAGIA adalah sesuatu yang tak ternilaiharganya.Saat menulis kenangan ini, saya berusaha mengingat apakah orang tuakami mengeluh menghadapi situasi banjir tersebut?. Ternyata seingatsaya, saya TIDAK PERNAH mendengar orang tua saya mengeluh.Masya Allah, saya jadi sedih dan menyesal-sudah berapa sering sayamengeluh di hadapan anak saya. 'Nak, ibu capek memasak, masa kamutidak mau makan?'; 'Nak, ibu ini sibuk, ibu ini student, ibu inibutuh waktu untuk belajar, Ibu capek, tolong kamu bantu Ibu dong'Astagfirullah. Mengapa saya tidak memilih kata yang lebih pantasdidengar oleh anak-anak saya? Mengapa saya tidak membangun kalimat-kalimat yang lebih mendidik? Yang lebih memberi kesan ketegaran,kebijakan, tanggung jawab?Saya seharusnya belajar dari orang tua saya. Ibu saya bukan anaksekolahan. Ijazah SD saja beliau tidak punya. Bapak saya hanya guruSD yang tingkat pendidikannya saja tidak mencapai sarjana.Sedangkan saya? Sudak lebih 20 tahun saya belajar di sekolah formal,SD-S3! Mengapa bisa demikian?Dalam renungan ini, saya menjadi sadar bahwa saya menuntut ilmu jauh-jauh hingga di negeri seberang, tapi sesungguhnya orang tua sayaadalah orang yang patut menjadi guru termahal saya.Ketabahan, ketenangan, kedamaian yang selalu terpancar darikehidupan merekalah yang mampu membawa saya dan saudara-saudaramenjalani kehidupan yang sesungguhnya sulit tapi terasa biasa-biasasaja.Semoga refleksi ini bisa membawa perubahan positif dalam perilakusehari-hari saya. Amiin

Tulisan di atas saya tulis untuk Renungan Hari Jum'at di milis iisb (milis student/masyarakat Islam Indonesia) pada tgl 20 Oktober 2006