Sunday, October 22, 2006

Hikmah dari kehidupan melarat

Pertama, saya ingat, ketika kecil saya sering ditegur oleh ibu saya jika piring makan saya tidak bersih atau panci nasi tidak bersih betul. Saya sering lihat ibu saya memungut semua beras yg terjatuh di tanah/lantai ketika selesai nampi beras. Ibu saya selalu bilang dalam bahasa Makassar yang kira-kira terjemahannya sbb. 'jangan buang-buang beras. Kalian ini sudah beruntung, bisa makan nasi. Dulu, ketika Bapakmu pulang ngajar, ibu hanya bisa menangis terdiam, karena tidak punya beras. Masa iya kamu mau buang-buang beras.' (Hikmah: terhindar dari sikap Mubadzir)

Kedua, saya selalu ingat segera setelah gajian bulanan Bapak, ibu ke warung bayar utang. Di pertengahan bulan, kalau ibu butuh gula pasir atau minyak tanah, biasanya saya disuruh ke warung untuk 'ngebon'. Maksunya ngambil barang, trus dicatat, lalu habis gajian dibayar lagi. Untunglah tiap bulan dapat pembagian beras keras dan kadang bau karung, jadi beras jatah pegawai negeri cukup buat makan kami sekeluarga. (Hikmah: beras bau karung pun disyukuri. Tidak berani minta2 duit untuk jajan di sekolah karena mengetahui situasi keuangan orang tua)

Ketiga, saya ingat ketika saya sekolah di SMA, kadang-kadang saya pakai tas plastik untuk bungkus kaki. Maklum, sepatu saya bocor sedangkan saya harus jalan kaki ke sekolah sekitar 3 kilometer jaraknya dari rumah. Saya tidak mungkin memaksa orang tua saya untuk membeli sepatu. Wong saya tahu dompet ibu saya kosong. Kantong celana Bapak saya tak berduit. Sepatu saya emang pantas selalu rusak, harganya aja sekitar Rp 3.500 dan setiap hari dipakai ke sekolah jalan kaki pp sekitar 6 kilo sehari. (Hikmah: problem solving: pakai plastik agar kaki tak basah)

Keempat, saya sering mendapati Ibu saya membantu orang di kampung jadi 'event organiser', dipercayakan untuk masak atau ngatur masakan untuk sebuah pesta pernikahan. Kadang-kadang Ibu saya kerja mulai pagi hingga larut malam dan berlangsung berhari-hari. Semua tanpa bayaran apa pun. Jika kami sedikit menuntut supaya Ibu jangan berlama-lama bantuin orang, dengan tegas Ibu menasehati kami 'Nak, kita kan tak punya duit. Kita tidak bisa nyumbang uang maka satu-satunya yang dapat kita sumbangkan adalah tenaga.' Hal yg kadang-kadang kami (anak-anaknya) protes ketika Ibu sdh pulang ke rumah, dia sudah lapar tapi makanan tidak tersedia. 'Ibu kok tidak bawa makanan pulang sih, kan Ibu yang masak'. Apa jawabnya? 'saya merasa tidak enak ah ambil makanan orang'. Ya Allah betapa jujurnya Ibu saya. Sekarang saya jadi mikir, mungkin kemudahan-kemudahan dalam hidup yg sering saya temui, mungkin rasa cinta orang lain yang sering saya rasakan adalah buah dari keikhlasan Ibu saya dalam mengabdikan hidupnya pada tetangga-tetangganya.

Kelima, ternyata hidup miskin pun tidak menutup kemungkinan untuk memberi. Saya ingat Ibu saya yang sering meminta saya mengantar makanan ke tetangga saya yg hidupnya lebih melarat dari keluarga kami. Walau itu hanyak semangkok sayur tumis kankung (kankung yg dipetik dari belakang rumah). Hingga saat ini saya masih bisa bayangkan wajah ceria dan pujian tetangga saya. Saya sangat senang ngantar makanan ke tetangga ketika saya kecil.

Keenam, ketika saya kuliah, setiap awal bulan saya pulang kampung ketemu orang tua sekaligus berharap untuk dapat bekal uang dan beras. Seingat saya, biasanya saya dapat uang Rp 10.000 atau Rp 15.000, sudah termasuk uang transport. Biasanya uang itu untuk beli minyak tanah atau beli seekor ikan kecil (tembang goreng-itu loh yang banyak sisiknya dan harganya paling murah) ditambah semangkok sayur yg tdk begitu segar (yg penting kan kuahnya!). Saya jadi teringat warung makan di Mannuruki Makassar. Duh nikmat deh!
Dengan bekal uang itu, saya memang tidak pernah berharap beli buku/diktat. Kebiasaan saya, teman beli buku, lalu saya pinjam untuk saya pelajari, saya catat + selesaikan soalnya. Lalu teman saya justru lebih senang pelajari buku tulis saya. Jadi amanlah! Tidak beli bukunya tapi dapat ilmunya.
Apa yang menarik dari phenomena ini?
Biasanya, di sepanjang perjalanan (sekitar 1.5 jam hingga 2 jam dari kampung ke Makassar) saya merenung, berfikir, dan kadang-kadang meneteskan air mata. Mengapa? saya terharu karena orang tua saya dalam kondisi sulit pun, mereka masih mau menyekolahkan kami. Walhasil, setiap habis pulang kampung, saya selalu bersemangat belajar (bagai layaknya baterei yg sudah di recharge!). Saya manfaatkan waktu sepenuhnya untuk belajar dan berorganisasi. Saya berjanji tidak ingin menyia-nyiakan pengorbanan orang tua saya. Saya juga berharap bisa dapat beasiswa. Dan Alahamdulillah, pada semester IV saya sdh terima beasiswa TID dan saya terpilih menjadi 10 finalis mahasiswa berprestasi tingkat National. Terima kasih ya Allah.

Kok judulnya andai aku punya duit?
Nah, dengan situasi seperti di atas, saya masih teringat dengan pikiran-pikiran saya, ketika saya lihat kedai dimana banyak makanan yang di jual. Ketika saya dipasar, lihat coklat, biskuit, es krim, dll. Diam-diam saya bicara dalam hati, 'Betapa enaknya jadi orang kaya. Betapa enaknya bila kita berduit. Semua itu bisa dibeli oleh mereka, betapa enaknya makanan-makanan itu, andai saya punya duit ……'

Suatu saat, ketika saya S2 dengan beasiswa URGE, duit saya lumayanlah. Beasiswa URGE terhitung tertinggi saat itu bahkan nilainya lebih besar dari gaji teman-teman saya yg sdh terangkat jadi guru. Suatu ketika, saya sulit sekali makan dan ini berlangsung dalam beberapa hari. Selera makan serasa hilang. Ketika saya masuk ke sebuah supermarket, saya bicara dalam hati sambil menantang diri saya 'Ayo, mau makan apa. Silahkan di pilih! Uang sudah ada! Mau coklat? Mau buah? Mau es krim? Silahkan. Pilih apa saja'
Apa yang terjadi saat itu? Saya tetap aja mutar-mutar mencari makanan yg kira-kira saya minati. Tapi TAK ADA. Lalu saya tersadar bahwa pikiran saya 'andai saya berduit' itu salah besar. Saya bahkan jadi merindukan saat2 kesempitan dana tapi bisa makan lahap walau lauknya hanya sambel tomat, atau hanya seekor ikan tembang!
Nah, saat itu uang ada di tangan, tapi saya tidak bisa makan.

Semoga dalam perenungan ini, saya semakin sadar bahwa duit harus dipandang sebagai alat menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan TIDAK BOLEH DIPANDANG sebagai alat pemenuhan nafsu.

Anyway, saya adalah individu yang telah merasakan manfaat luar biasa dari uang yang telah disumbangkan kepada saya untuk biaya pendidikan saya (mulai dari beasiswa S1, S2, dan S3). Insya Allah, semoga Allah memberikan kesempatan yang sama buat saya untuk mengabdikan hidup saya sebelum nafas terakhir saya hembuskan. Semoga Allah memaafkan saya dan memberi saya kesempatan untuk menjalankan amanah kemanusiaan. Duit hanyalah salah satu alat untuk menjalankan amanah selaku khalifah di dunia.

Tulisan di atas saya tulis untuk Renungan Hari Jum'at di milis iisb (milis student/masyarakat Islam Indonesia) pada tgl 20 Oktober 2006

No comments: